Tuesday, 28 June 2011

Isra' Mikraj

Sebenarnya terdapat beberapa bulan dan tempat yang mendapat tempat yang istimewa pada sisi Allah berbanding yang lainnya. Tetapii tingkatan sesetengah tempat dan masa adalah berdasarkan sumber-sumber yang sohih. Banyak hadith yang meriwayatkan tentang kelebihan bulan Rejab adalah lemah ataupun palsu dan semestinya kita hendaklah mengambil sumber yang sohih sebagai panduan dan asas kepada hujah-hujah kita dalam mengatakan tentang bulan Rejab.
Walaupun begitu, kita harus ingat bahawa terdapat beberapa peristiwa yang sangat penting berlaku semasa bulan Rejab iaitu malam Isra' dan Mikraj (menurut beberapa pendapat), peperangan Tabuk dan pembebasan Masjidil Aqsa daripada kaum salib di tangan Salahuddin Al-Ayyubi. kita seharusnya mengingati peristiwa-peristiwa ini kembali dan mempelajari resipi kejayaan daripada generasi lepas.
Syaikh 'Atiyyah Saqr, bekas pengerusi Majlis Fatwa Al-Azhar berkata;
Al-Hafidh Ibn `Ali ibn Muhammad ibn Hajar Al-`Asqalani, seorang tokoh ilmuwan Islam menulis satu kajian yang detail bertajuk “Tabyeen Al-`Ajab bima Warada fi Fadl Rajab.” Ibn Hajar mengatakan bahwa hampir semua hadith yang melaporkan tentang kedudukan bulan Rejab dan kelebihannya dengan berpuasa dan solat sunat adalah tergolong di dalam hadith-hadith yang lemah dan palsu.
Beliau juga berkata bulan Rejab memiliki 18 nama, yang mana yang terpopular adalah Al-Asamm (Bulan Pekak). Ianya kerana tiada bunyi-bunyian pedang yang di dengari sewaktu bulan ini yang juga tergolong di dalam bulan haram di mana peperangan tidak di benarkan. Ia juga di kenali sebagai bulan Al-Asabb (Bulan Pemberian) kerana di percayai bahwa kebaikan melimpah kepada orang ramai pada bulan ini. Ia juga di kenali sebagai “penyingkir besi”. Abu Raja’ Al-‘Utaridi berkata, “Kami dahulu sebelum Islam menyembah batu. Tetapi apabila kami menjumpai batu yang lebih baik, maka kami akan membuang batu yang pertama tadi dan mengambil yang baru. Jika kami tidak dapat mencari batu, kami akan mengumpulkan tanah dan kemudian membawa domba dan susu ke atasnya, dan melakukan tawaf di sekelilingnya. Apabila bulan Rejab datang, kami akan menghapus dan membuang besi-besi pada tombak dan anak-anak panah.” (Al-Bukhari)
Kelebihan dari Rajab adalah seperti kelebihan bulan suci yang lainnya.
“Sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi (hukum) Allah ialah dua belas bulan, (yang telah ditetapkan) Dalam Kitab Allah semasa ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan Yang dihormati. ketetapan Yang demikian itu ialah ugama Yang betul lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu Dalam bulan-bulan Yang dihormati itu (dengan melanggar laranganNya); dan perangilah kaum kafir musyrik seluruhnya sebagaimana mereka memerangi kamu seluruhnya; dan ketahuilah Sesungguhnya Allah beserta orang-orang Yang bertaqwa.”
(At-Tawbah 9: 36).
Nama-nama bulan suci ini telah disebutkan dalam sebuah hadits yang sohih Nabi saw. dalam haji wada. Menurut hadits ini, terdapat empat bulan suci, tiga berturut-turut-yaitu, Dhul-Qi `dah, Dhul-Hijjah, dan Muharram dan keempat adalah Rajab, yang datang antara Jumada Thani dan Sha` ban.
Menurut ayat di atas, maka sesungguhnya Allah swt, telah memerintahkan umat Islam untuk tidak menyalahkan diri sendiri (atau lainnya), khususnya di bulan suci ini. Jadi tidak ada di antara suku-suku yang berperang selama bulan ini, sehingga masyarakat akan menjamin bahwa jalan ke Rumah Suci akan aman. Hal ini ditunjukkan oleh Allah Maha Kuasa berkata dalam ayat lain:
“kemudian apabila habislah (masa) bulan-bulan Yang dihormati itu maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana sahaja kamu menemuinya, dan tawanlah mereka, dan juga keponglah mereka, serta tunggulah mereka di tiap-tiap tempat mengintipnya. kemudian jika mereka bertaubat (dari kekufurannya) dan mendirikan sembahyang serta memberi zakat, maka biarkanlah mereka (jangan diganggu). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”
(At-Tawbah 9: 5).
Antara lain kata-kata orang pada bulan haram ini dalah untuk menghindarkan daripada membuat dosa atau membuat kesalahan kepada orang lain. Beberapa ulama memesan supaya untuk tidak melakukan kesalahan terutama dalam bulan suci dan jiak berbuat kelasahan seperti membunuh orang, wang tebusan yang perlu di bayar akan meningkat sepertiga jika tindakan ini dilakukan selama bulan suci. Tetapi untuk dicatat bahwa fatwa itu tidak berdasarkan bukti langsung dari Al Qur'an atau Sunnah.
Berpuasa sunat secara sukarela puasa di bulan suci, termasuk Rajab, sangat dianjurkan. Abu Dawud melaporkan daripada Mujibah Al-Bahilyyah bahwa Nabi saw. berkata kepada ayahnya atau bapa saudara,
"Berpuasalah untuk beberapa hari di bulan suci dan tinggalkan puasa pada hari lainnya.
Baginda saw. berkata ini tiga kali, dengan melipat dari tiga jari dan kemudian dia membukanya kembali. Nabi menggunakan tiga jari di sini adalah dimaksudkan untuk menegaskan rekomendasi dari beliau untuk berpuasa pada bulan ini, dan bukan untuk menunjukkan jumlah hari untuk mengamati puasa itu.
Oleh karena itu, melakukan perbuatan baik, termasuk puasa, di bulan Rajab pada umumnya merpuakan hal yang terpuji seperti hal tersebut di bulan suci yang lain. Menurut Ibnu Hajar, tidak ada hadits, apakah sohih atau hasan, yang melaporkan tentang kelebihan berpuasa di bulan Rejab.
Among the weak hadiths circulated about the special rewards entailed by fasting in Rajab is this:
“There is a river in Paradise called Rajab; its water is whiter than milk and sweeter than honey.” Di antara hadis lemah yang berligar di kalangan masyarakat tentang kelebihan khusus oleh puasa di Rajab adalah ini:
"Ada sebuah sungai di surga disebut Rajab; dengan air putih dari susu dan manis daripada madu. Dia yang berpuasa sehari dari pada bulan Rajab adalah seperti orang yang berpuasa keseluruhan bulan, dia yang berpuasa tujuh hari daripanya akan diberikan perlindungan terhadap tujuh pintu neraka, dia yang berpuasa selama lapan daripanya, lapan pintu surga akan dibuka baginya, dan orang yang berpuasa sepuluh hari daripanya, maka perbuatan buruk akan berubah menjadi orang baik. "
Ada lagi hadits yang panjang dilaporkan tentang hal ini, "Rajab adalah bulan Allah Maha Kuasa, Sha` ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku. " Hadith ini adalah hadith palsu. Ia juga disebutkan dalam Al-Jami `Al-Kabir oleh As-Syuti hadits ini yang dilaporkan oleh Abu Al-Fat-h ibn Abu al-Fawaris dalam bukunya Amali sebagai hadits mursal (satu hadits yang langsung dikaitkan kepada Nabi tanpa menyebutkan para sahabat yang meriwayatkan).
Antara hadith palsu yang menyatakan kelebihan solat sunat di bulan Rejab adalah: "Barang siapa yang melakukan salat Maghrib di malam pertama Rajab, kemudian menawarkan dua puluh rakaat, dua-dua, membaca dalam setiap rakaat surah Al-Fatihah dan surah "Qul huwa Allahu Ahad," Allah swt. akan menjaga dia, keluarganya, kekayaannya, anak-anaknya, ia juga akan diberikan perlindungan terhadap hukuman dari azab kubur dan akan melalui jembatan di atas neraka seperti tanpa hisab atau terkena hukuman (di akhirat). "
Ibnu Hajar mendedikasikan dalam satu studi tentang perkara di atas, secara keseluruhan bab untuk melaporkan tentang hadis yang melarang berpuasa seluruh bulan Rajab. He then said, Dia kemudian berkata, "larangan ini berlaku untuk orang yang berpuasa kerana mengikuti tradisi era pra-Islam yang memuliakan bulan ini. Tetapi jika dia berpuasa di bulan ini kerana Allah untuk kepentingan sendiri tanpa menetapkan hari-hari tertentu atau malam-malam tertentu untuk solat malam, tidak ada apa-apa salah dalam hal ini. Larangan yang dimaksudkan di sini adalah sejajar dengan larangan sebagaimana dimaksud dalam hadits Nabi "Jangan mengkhususkan malam (sebelumnya) di antara Jumat malam untuk salat dan tidak memilih Jumat sebagai hari untuk berpuasa."
Adapun orang yang melihat puasa di bulan Rajab, percaya bahwa selama puasa itu lebih patut lebih dipuji daripada puasa di bulan lainnya, hal ini menimbulkan perselisihan di kalangan ulama, tetapi Ibnu Hajar berpendapat bahwa hal ini tidak dibolehkan.
Ibnu Hajar juga mengutip kata-kata Abu Bakr At-Tartushi-berkata dalam Al-Bida `wa al-Hawadith," Tidak disarankan untuk mematuhi puasa di bulan Rajab jika hal ini dilakukan dari salah satu dari tiga tujuan, salah satunya adalah untuk melakukannya dengan memparcayai bahwa puasa adalah wajib seperti puasa Ramadan, atau sebagai tindakan mengikuti Sunnah, atau bahwa puasa adalah lebih patut dihormati dan dihargai daripada puasa di bulan lainnya. Jika hal-hal di atas adalah benar, Nabi (peace and blessings be upon him) tentu sekali akan menjelaskannya. Menurut Ibnu Dihyah, puasa secara umum adalah perbuatan baik, tetapi tidak boleh diamati dan percaya tentang imbalannya pada bulan Rajab. Umar tidak akan merekomendasikan puasa di Rajab menurut kepercayaan ini."
Mengenai mengunjungi makam di lan Rajab, banyak orang, terutama perempuan, yang biasa untuk mengunjungi makam pada hari Jumaat pertama dari Rajab. Tidak ada dalam Shari `ah merekomendasikan bahwa perbuatan seperti itu, dan hal tersebut mendapat balasan yang lebih baik daripada mengunjungi makam pada hari biasa lainnya.
Umat Islam seharusnya mengingats peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam selama bulan ini, seperti malam perjalanan Isra’ dan Mikraj menurut sesetengah riwayat, peperangan Tabuk, dan kemerdekaan Masjid Al-Aqsa daripada kaum Salib di tangan Salah ad-Din Al-Ayubi (538 H.). Umat Islam harus mengambil pelajaran sejarah yang mulia ini, sehingga mereka dapat bersatu kembali dan berusaha untuk membebaskan Masjid Al-Aqsa semula daripada penjajah Yahudi Zionis yang zalim. (dakwah.info/sumber terjemahan-io)

Ahlus Sunnah mengimani dan meyakini bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah disra’kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu dimi’rajkan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya di dalam keadaan sedar sehingga ke langit yang ketujuh, ke Sidratul Muntaha. Kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) memasuki Syurga, melihat neraka, melihat para malaikat, mendengar perkataan Allah, bertemu dengan para Nabi, dan beliau mendapat perintah solat lima waktu sehari semalam. Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga (malam yang sama). (Rujuk: Yazid Abdul Qadir Jawas, Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, m/s. 272, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. 6, Th. Syawal 1429H/Oktober 2008M. Rujuk juga: Imam al-Barbahari, Syarhus Sunnah, no. 72, m/s. 59-60, Dar El-Hujjah, Cet. 1, Th. 1423H/2002M, Jakarta) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


Maksud: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surah al-Isra’, 17: 1)


1 - Hadis Riwayat al-Bukhari, (بَاب الْمِعْرَاجِ), no. 3598, dari Anas B. Malik dari Malik B. Sha’sha’ah:


حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ صَعْصَعَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُمْ عَنْ لَيْلَةِ أُسْرِيَ بِهِ بَيْنَمَا أَنَا فِي الْحَطِيمِ وَرُبَّمَا قَالَ فِي الْحِجْرِ مُضْطَجِعًا إِذْ أَتَانِي آتٍ فَقَدَّ قَالَ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ فَشَقَّ مَا بَيْنَ هَذِهِ إِلَى هَذِهِ فَقُلْتُ لِلْجَارُودِ وَهُوَ إِلَى جَنْبِي مَا يَعْنِي بِهِ قَالَ مِنْ ثُغْرَةِ نَحْرِهِ إِلَى شِعْرَتِهِ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ مِنْ قَصِّهِ إِلَى شِعْرَتِهِ فَاسْتَخْرَجَ قَلْبِي ثُمَّ أُتِيتُ بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مَمْلُوءَةٍ إِيمَانًا فَغُسِلَ قَلْبِي ثُمَّ حُشِيَ ثُمَّ أُعِيدَ ثُمَّ أُتِيتُ بِدَابَّةٍ دُونَ الْبَغْلِ وَفَوْقَ الْحِمَارِ أَبْيَضَ فَقَالَ لَهُ الْجَارُودُ هُوَ الْبُرَاقُ يَا أَبَا حَمْزَةَ قَالَ أَنَسٌ نَعَمْ يَضَعُ خَطْوَهُ عِنْدَ أَقْصَى طَرْفِهِ فَحُمِلْتُ عَلَيْهِ فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتَفْتَحَ فَقِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَفَتَحَ فَلَمَّا خَلَصْتُ فَإِذَا فِيهَا آدَمُ فَقَالَ هَذَا أَبُوكَ آدَمُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ السَّلَامَ ثُمَّ قَالَ مَرْحَبًا بِالِابْنِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ ثُمَّ صَعِدَ بِي حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الثَّانِيَةَ فَاسْتَفْتَحَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَفَتَحَ فَلَمَّا خَلَصْتُ إِذَا يَحْيَى وَعِيسَى وَهُمَا ابْنَا الْخَالَةِ قَالَ هَذَا يَحْيَى وَعِيسَى فَسَلِّمْ عَلَيْهِمَا فَسَلَّمْتُ فَرَدَّا ثُمَّ قَالَا مَرْحَبًا بِالْأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ ثُمَّ صَعِدَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ فَاسْتَفْتَحَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَفُتِحَ فَلَمَّا خَلَصْتُ إِذَا يُوسُفُ قَالَ هَذَا يُوسُفُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ ثُمَّ قَالَ مَرْحَبًا بِالْأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ ثُمَّ صَعِدَ بِي حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الرَّابِعَةَ فَاسْتَفْتَحَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ أَوَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَفُتِحَ فَلَمَّا خَلَصْتُ إِلَى إِدْرِيسَ قَالَ هَذَا إِدْرِيسُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ ثُمَّ قَالَ مَرْحَبًا بِالْأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ ثُمَّ صَعِدَ بِي حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الْخَامِسَةَ فَاسْتَفْتَحَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَلَمَّا خَلَصْتُ فَإِذَا هَارُونُ قَالَ هَذَا هَارُونُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ ثُمَّ قَالَ مَرْحَبًا بِالْأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ ثُمَّ صَعِدَ بِي حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ السَّادِسَةَ فَاسْتَفْتَحَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَلَمَّا خَلَصْتُ فَإِذَا مُوسَى قَالَ هَذَا مُوسَى فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ ثُمَّ قَالَ مَرْحَبًا بِالْأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ فَلَمَّا تَجَاوَزْتُ بَكَى قِيلَ لَهُ مَا يُبْكِيكَ قَالَ أَبْكِي لِأَنَّ غُلَامًا بُعِثَ بَعْدِي يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِهِ أَكْثَرُ مِمَّنْ يَدْخُلُهَا مِنْ أُمَّتِي ثُمَّ صَعِدَ بِي إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَلَمَّا خَلَصْتُ فَإِذَا إِبْرَاهِيمُ قَالَ هَذَا أَبُوكَ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ قَالَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ السَّلَامَ قَالَ مَرْحَبًا بِالِابْنِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ ثُمَّ رُفِعَتْ إِلَيَّ سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى فَإِذَا نَبْقُهَا مِثْلُ قِلَالِ هَجَرَ وَإِذَا وَرَقُهَا مِثْلُ آذَانِ الْفِيَلَةِ قَالَ هَذِهِ سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى وَإِذَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ نَهْرَانِ بَاطِنَانِ وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ فَقُلْتُ مَا هَذَانِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ أَمَّا الْبَاطِنَانِ فَنَهْرَانِ فِي الْجَنَّةِ وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ فَالنِّيلُ وَالْفُرَاتُ ثُمَّ رُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ ثُمَّ أُتِيتُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ وَإِنَاءٍ مِنْ عَسَلٍ فَأَخَذْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ هِيَ الْفِطْرَةُ الَّتِي أَنْتَ عَلَيْهَا وَأُمَّتُكَ ثُمَّ فُرِضَتْ عَلَيَّ الصَّلَوَاتُ خَمْسِينَ صَلَاةً كُلَّ يَوْمٍ فَرَجَعْتُ فَمَرَرْتُ عَلَى مُوسَى فَقَالَ بِمَا أُمِرْتَ قَالَ أُمِرْتُ بِخَمْسِينَ صَلَاةً كُلَّ يَوْمٍ قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لَا تَسْتَطِيعُ خَمْسِينَ صَلَاةً كُلَّ يَوْمٍ وَإِنِّي وَاللَّهِ قَدْ جَرَّبْتُ النَّاسَ قَبْلَكَ وَعَالَجْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَشَدَّ الْمُعَالَجَةِ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ لِأُمَّتِكَ فَرَجَعْتُ فَوَضَعَ عَنِّي عَشْرًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ فَرَجَعْتُ فَوَضَعَ عَنِّي عَشْرًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ فَرَجَعْتُ فَوَضَعَ عَنِّي عَشْرًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ فَرَجَعْتُ فَأُمِرْتُ بِعَشْرِ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مِثْلَهُ فَرَجَعْتُ فَأُمِرْتُ بِخَمْسِ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ بِمَ أُمِرْتَ قُلْتُ أُمِرْتُ بِخَمْسِ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لَا تَسْتَطِيعُ خَمْسَ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَإِنِّي قَدْ جَرَّبْتُ النَّاسَ قَبْلَكَ وَعَالَجْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَشَدَّ الْمُعَالَجَةِ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ لِأُمَّتِكَ قَالَ سَأَلْتُ رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ وَلَكِنِّي أَرْضَى وَأُسَلِّمُ قَالَ فَلَمَّا جَاوَزْتُ نَادَى مُنَادٍ أَمْضَيْتُ فَرِيضَتِي وَخَفَّفْتُ عَنْ عِبَادِي


Maksudnya:


Telah menceritakan kepada kami Hutbah bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Hammam bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Qotadah, daripada Anas bin Malik daripada Malik bin Sha’sha’ah radhiyallahu ‘anhuma:


“Bahawasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bercerita kepada mereka tentang malam beliau diisra’kan. Beliau berkata,


Ketika aku sedang berbaring di kamar (hathiim), tiba-tiba datang seseorang, lalu dia berkata-kata kepada temannya yang di tengah, Maka keduanya mendatangiku dan (yang seorang) membedahku.


(Qotadah menjelaskan): Aku bertanya kepada al-Jarud yang sedang berada di sampingku tentang maksud dari ungkapan ini (soal pembedahan). Dia menjawab bahawa maksudnya adalah dari pertemuan di antara leher dengan dada hingga ke tempat tumbuh rambut kemaluan.


(Kata Nabi), Lalu hatiku dikeluarkan.


Selanjutnya, didatangkan sebuah cawan dari emas penuh berisi keimanan dan hikmah. Maka, hatiku dibasuh, lalu diisi (dengan iman dan hikmah) dan kemudian dikembalikan ke tempatnya semula.


Setelah itu didatangkanlah seekor tunggangan berwarna putih, lebih rendah dari baghal dan lebih tinggi dari keldai.


Al-Jarud bertanya (kepada Anas): “Adakah itu yang dikatakan sebagai Buraq wahai Abu Hamzah (Anas)?”


“Ya, dan tunggangan itu mampu meletakkan kakinya untuk melangkah sejauh hujung pandangan matanya.”.


Rasulullah melanjutkan kisahnya, “Setelah aku dinaikkan ke atas buraq itu, Jibril berangkat membawaku hingga sampai ke langit dunia. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bertujuan menghadap Rabb-nya)?


“Ya.” Jawab Jibril.


Sambil membuka pintu langit, penjaganya berkata, “Selamat datang. Sungguh amat mulia tamu yang datang.”


Manakala setelah masuk, ternyata di sana aku bertemu dengan Nabi Adam ‘alaihis Salam. (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meneruskan kisahnya)


“Ini adalah ayahmu Adam, ucapkanlah salam untuknya.” Jibril memberitahuku.


Aku ucapkan salam salam dan beliau pun menjawab salamku seraya berkata, “Selamat datang anak yang soleh dan Nabi yang soleh.”


Kemudian kami dibawa lagi naik ke langit kedua. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tangan penjaga pintu langit.”Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya lagi, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu dua orang yang bersaudara (sepupu), iaitu Yahya dan Isa. Setelah menyambut kedatanganku, mereka pun mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami dibawa lagi naik ke langit ketiga. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Yusuf ‘alaihis Salam. Sungguh, beliau telah dianugerahkan dengan separuh ketampanan. Setelah menyambut kedatanganku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Kamudian kami diangkat lagi ke langit keempat. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah beliau diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya”, kembali Jibril menjawab.


Setelah pintu langit dibuka, ternyata aku bertemu Nabi Idris ‘alaihis Salam. Setelah menyambutku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami diangkat lagi ke langit kelima. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril” jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Harun ‘alaihis Salam. Setelah menyambutku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami diangkat ke langit keenam. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penunggu pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Musa ‘alaihis Salam. Setelah menyambut kedatanganku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Ketika hendak berlalu pergi, maka Nabi Musa menangis. Lalu dikatakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?”


“Aku menangis kerana ada anak yang masih muda diutus setelahku, sedangkan jumlah umatnya yang masuk Syurga lebih ramai dari umatku yang memasukinya.”


Kemudian kami diangkat lagi sehingga ke langit ketujuh. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril”. Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus untuk dinaikkan bagi tujuan berjumpa dengan Rabb-nya?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Sambil membuka pintu langit, penjaganya berkata, “Selamat datang. Sungguh amat mulia tamu yang datang.”


Lalu pintu dibukakan untuk kami. Manakala aku telah masuk, ternyata di sana aku bertemu dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis Salam.


Jibril berkata, “Ini adalah Nabi Ibrahim, ucapkanlah salam untuknya.”


Setelah aku memberikan salam, beliau pun menjawab salamku dan lalu berkata, “Selamat datang anak yang soleh dan Nabi yang soleh.”


(Seterusnya) Lalu diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha. Kulihat buahnya seperti guci-guci orang Hajar (nama tempat di Yaman) dan daunnya seperti telinga gajah.


Jibril berkata, “Ini adalah Sidratul Muntaha.”


“Aku melihat ada empat sungai, dua sungai yang batin dan dua sungai yang zahir. Aku bertanya, “Apa dia yang demikian wahai Jibril?”


Jibril menjawab, “Yang batin adalah dua sungai yang ada di dalam Syurga, manakala yang zahir ialah sungai Nil dan sungai Furaat.”


Kemudian diperlihatkan kepadaku Baitul Ma’mur.


Kemudian didatangkan kepadaku tiga cawan minuman, iaitu arak, susu, dan madu. Maka ketika aku mengambil susu, Jibril berkata, “Inilah fitrah yang kamu dan umatmu berada di atasnya.”


Kemudian diwajibkan ke atasku solat lima puluh kali setiap harinya. Setelah itu aku turun, dan ketika bertemu lagi dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau bertanya, “Apa yang diwajibkan Rabb-mu kepada umatmu?”


“Lima puluh kali solat pada setiap hari.” Jawabku.


Nabi Musa ‘alaihis Salam berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melaksanakan solat lima puluh kali sehari semalam, aku telah membuktikannya terhadap orang-orang sebelum engkau, dan aku merasakan betapa beratnya menghadapi Bani Israil. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan untuk umatmu.”


Maka aku pun kembali untuk memohon keringanan yang dimaksudkan, dan Allah mengurangi sepuluh kali solat.


Ketika aku kembali kepada Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diputuskan untukmu?”


“Empat puluh kali solat untuk setiap hari.” Jawabku.


Nabi Musa ‘alaihis Salam berkata, “Sesungguhnya umatku masih belum mampu melaksanakan empat puluh kali solat sehari semalam, aku telah membuktikannya terhadap orang-orang sebelummu, dan aku merasakan betapa beratnya menghadapi Bani Israil. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan untuk umatmu.”


Maka aku pun kembali untuk memohon keringanan itu, dan Allah mengurangi sepuluh kali solat lagi.


Ketika aku kembali kepada Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diputuskan untukmu?”


“Tiga puluh kali solat untuk setiap harinya.” Jawabku.


Nabi Musa ‘alaihis Salam berkata, “Sesungguhnya umatku masih belum mampu melaksanakan tiga puluh kali solat sehari semalam, aku telah membuktikan betapa beratnya menghadapi Bani Israil. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan itu.


Maka aku pun kembali untuk memohon keringanan itu, dan Allah mengurangi sepuluh kali solat lagi, dan Allah mengurangi sepuluh kali solat lagi.


Ketika aku kembali kepada Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diputuskan untukmu?”


“Dua puluh kali solat setiap hari.” Jawabku.


Nabi Musa ‘alaihi Salam berkata, “Sesungguhnya umatku masih belum mampu melaksanakan dua puluh kali solat sehari semalam, aku telah membuktikannya terhadap orang-orang sebelummu, dan aku merasakan betapa beratnya menghadapi Bani Israil. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan untuk umatmu.”


Maka aku pun kembali untuk memohon keringanan itu, dan Allah mengurangi sepuluh kali solat lagi.


Ketika aku kembali kepada Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diputuskan untukmu?”


“Sepuluh kali solat setiap hari.” Jawabku.


Nabi Musa ‘alaihi Salam berkata, “Sesungguhnya umatku masih belum mampu melaksanakan sepuluh kali solat sehari semalam, aku telah membuktikannya terhadap orang-orang sebelummu, dan aku merasakan betapa beratnya menghadapi Bani Israil. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan untuk umatmu.”


Maka aku pun kembali untuk memohon keringanan itu, dan Allah mengurangi sepuluh kali solat lagi.


Ketika aku kembali kepada Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diputuskan untukmu?”


“Lima kali solat setiap hari.” Jawabku.


Nabi Musa ‘alaihi Salam berkata, “Sesungguhnya umatku masih belum mampu melaksanakan lima kali solat sehari semalam, aku telah membuktikannya terhadap orang-orang sebelummu, dan aku merasakan betapa beratnya menghadapi Bani Israil. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan untuk umatmu.”


“Sesungguhnya aku telah memohon kepada Rabb-ku, sehingga aku telah merasa malu. Aku memutuskan untuk menerima sepenuh hati lima kali solat sehari semalam ini.” Jawabku.


Maka terdengarlah suara bergema, “Telah Aku tetapkan kewajiban hamba terhadap-Ku dan Aku ringankan beban dari hamba-hamba-Ku.” (Lihat juga: Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, no. 17165)


2 – Hadis Riwayat Muslim, Bab Isra’ bi Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa Sallam... (بَاب الْإِسْرَاءِ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى السَّمَاوَاتِ وَفَرْضِ الصَّلَوَاتِ), no. 234:


حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ قَالَ فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ قَالَ ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِآدَمَ فَرَحَّبَ بِي وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِابْنَيْ الْخَالَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَيَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّاءَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا فَرَحَّبَا وَدَعَوَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا هُوَ قَدْ أُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِدْرِيسَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

{ وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا }

ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِهَارُونَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلَالِ قَالَ فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللَّهِ مَا غَشِيَ تَغَيَّرَتْ فَمَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ قُلْتُ خَمْسِينَ صَلَاةً قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي فَقُلْتُ يَا رَبِّ خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقُلْتُ حَطَّ عَنِّي خَمْسًا قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ قَالَ فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً قَالَ فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ


Maksud:


Telah menceritakan kepada kami Syaiban B. Farruh, telah menceritakan kepada kami Hammad B. Salamah, telah menceritakan kepada kami Tsabit al-Bunani daripada Anas B. Malik:


Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


Didatangkan kepadaku Buraq, seekor tunggangan putih, lebih tinggi dari keldai dan lebih rendah dari baghal, ia berupaya meletakkan telapak kakinya di hujung pandangannya. Setelah menungganginya, maka Buraq itu berjalan membawaku hingga sampai ke Baitul Maqdis. Aku ikat (tambat) tunggangan itu di tempat para Nabi biasa menambatkan tunggangan mereka. Lalu aku masuk dan menunaikan solat dua raka’at di dalamnya. Setelah itu aku keluar dan disambut oleh Jibrail dengan secawan arak dan susu. Ketika aku memilih susu, maka Jibril berkata: “Engkau telah memilih fitrah (iaitu Islam dan Istiqomah)”.


Kemudian aku dibawa naik ke langit dunia. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, maka terdengarlah suara yang bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bertujuan menghadap Rabb-nya)?


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah masuk, ternyata di sana aku bertemu dengan Nabi Adam dan beliau segera menyambutku lalu mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami dibawa lagi naik ke langit kedua. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tangan penjaga pintu langit.”Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya lagi, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu dua orang yang bersaudara (sepupu), iaitu Yahya dan Isa. Setelah menyambut kedatanganku, mereka pun mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami dibawa lagi naik ke langit ketiga. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Yusuf ‘alaihis Salam. Sungguh, beliau telah dianugerahkan dengan separuh ketampanan. Setelah menyambut kedatanganku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Kamudian kami diangkat lagi ke langit keempat. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah beliau diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya”, kembali Jibril menjawab.


Setelah pintu langit dibuka, ternyata aku bertemu Nabi Idris ‘alaihis Salam. Setelah menyambutku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا (“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.”) (Surah Maryam, 19: 57)


Kemudian kami diangkat lagi ke langit kelima. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril” jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Harun ‘alaihis Salam. Setelah menyambutku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami diangkat ke langit keenam. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril.” Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penunggu pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Musa ‘alaihis Salam. Setelah menyambut kedatanganku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.


Kemudian kami diangkat lagi sehingga ke langit ketujuh. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”


“Jibril”. Jawabnya.


“Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit.


“Muhammad.” Jawab Jibril.


Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus untuk dinaikkan bagi tujuan berjumpa dengan Rabb-nya?”


“Ya.” Jawab Jibril.


Setelah pintu langit dibukakan, aku bertemu Nabi Ibrahim ‘alaihis Salam. Aku melihatnya sedang duduk bersandar ke Baitul Ma’mur. Tempat tersebut setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat (apabila mereka keluar darinya, maka) mereka tidak akan kembali lagi.


Kemudian aku dibawa ke Sidaratul Muntaha. Aku melihat daunnya seperti telinga gajah sebesar tempayan/guci besar. Lalu manakala ia diliputi oleh perintah allah (sebagaimana yang dikehendaki Allah) maka ia berubah. Maka tidak ada satu pun makhluk yang dapat melukiskan keindahannya.


(Rasulullah meneruskan ceritanya):


Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia kehendaki untuk diwahyukan, iaitu diwajibkan ke atasku dalam sehari semalam lima puluh kali solat. Aku pun turun membawa kewajiban itu. Ketika aku bertemu kembali dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diwajibkan oleh Rabb-mu terhadap umatmu?”


“Lima puluh kali solat pada setiap hari.” Jawabku.


Musa berkata, “Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan kepada-Nya untuk umatmu, kerana mereka tidak akan mampu melaksanakannya. Aku telah mencuba dan menguji Bani Israil.”


Maka aku pun kembali menghadap Rabb-ku dan berkata, “Wahai Rabb-ku, ringankanlah bagi umatku.”


Atas permohonan tersebut, maka Allah menguranginya lima kali solat. Setelah itu, aku turun, sehingga bertemu kembali dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang telah engkau lakukan?”


Aku menjawab, “Lima kali solat telah digugurkan (dikurangkan) dariku.”


“Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup, kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah kepada-Nya keringanan lagi untuk umat-mu”, pesan Nabi Musa ‘alaihis Salam.


(Rasulullah menyatakan):


Maka sentiasa aku berulang-alik antara Rabb-ku dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam. Setiap kali aku kembali kepada-Nya, maka Allah meringankan untukku lima kali solat. Akhirnya Allah berfirman,


“Wahai Muhammad, hanya lima kali solat sehari semalam, setiap kali solat Aku lipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh. Maka perkara itu (menjadi setara dengan) lima puluh kali solat. Sesiapa yang berkeinginan (kuat) untuk melakukan kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka ditulislah satu pahala untuknya. Namun, jika dia melakukannya, maka ditulislah untuknya sepuluh pahala. Dan sesiap yang berkeinginan melakukan perbuatan jahat, lalu dia tidak melakukannya, maka tidak ditulis ke atasnya apa-apa. Namun, jika dia melakukannya, maka ditulislah ke atasnya dosa.”


Lalu aku turun hingga bertemu kembali dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, aku pun memberitahu bahawa telah tinggal lima kali solat sehari semalam.


“Kembalilah kepada Rabb-mu, mohonlah kembali keringanan untuk umatmu. Kerana sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melaksanakannya.” Pesan Nabi Musa ‘alaihis Salam.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku menjawab, “Sungguh aku telah berulang kali menghadap dan memohon keringanan kepada Rabb-ku, sehingga aku telah merasa malu”.”


Adakah Nabi Pernah Melihat Allah?


حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ هَارُونَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ قَالَ

قُلْتُ لِأَبِي ذَرٍّ لَوْ أَدْرَكْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُهُ قَالَ وَعَمَّا كُنْتَ تَسْأَلُهُ قَالَ سَأَلْتُهُ هَلْ رَأَى رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَبُو ذَرٍّ قَدْ سَأَلْتُهُ فَقَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ


Maksud: Telah menceritakan kepada kami Yazid anak kepada Harun, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Qotadah, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Syaqiq, beliau berkata:


Aku berkata kepada Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya aku bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, niscaya aku ingin menanyakannya sesuatu kepada beliau.” Abu Dzarr bertanya, “Apa yang hendak engkau tanyakan?”


(‘Abdullah bin Syaqiq berkata) “Aku akan bertanya kepadanya, adakah beliau pernah melihat Tuhan-Nya (Rabb-nya)?”


Abu Dzarr berkata: “Sungguh aku pernah menanyakan perkara ini kepada beliau, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Aku hanya melihat cahaya sahaja.” (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, no. 20547)


مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ


Dari Masruq, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:


Maksud: Sesiapa yang menyangka bahawasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihat Rabb-nya, maka orang tersebut telah melakukan kebohongan yang besar atas nama Allah. (Hadis Riwayat Muslim, (بَاب مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ), no. 259)


I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah Berkenaan Melihat Allah


Manusia Tidak dapat melihat Allah di dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ


Maksudnya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pengsan. Maka setelah Musa sedar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (Surah al-A’raaf, 7: 143)


Berkenaan ayat ini, Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:


Mustahil melihat Allah di dunia, berdasarkan firman Allah kepada Nabi Musa ‘alaihis Salam di ketika beliau meminta untuk melihat Allah. (Rujuk: Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin, Syarah Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabilir Rasyad, Edisi Terjemahan: Wahai Saudaraku, Inilah Aqidahmu..., m/s. 144, no. 39, Pustaka Ibnu Katsir (Bogor), Cet. 1. Th. 1427H/2007M)


Ulama Ahlus Sunnah menjelaskan bahawa:


Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dilihat di akhirat (di padang mahsyar). Dilihat pula oleh Ahli Syurga, sebagaimana telah mutawatir hadis berkenaan perkara ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Rujuk: Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan, Syarah al-Manzhumatil ha’iyah fi ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Edisi Terjemahan: Inilah Ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, m/s. 90, Pustaka Salafiyah, Cet. 1. Th. 1428H/2007M)


Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan:


والمؤمنون يرون ربهم في الآخرة بأبصارهم ويزورونه، ويكلمهم ويكلمونه


Dan orang-orang yang beriman (mukimin) akan melihat Rabb mereka pada hari Kiamat dengan mata kepala mereka, dan mereka pun akan menjumpai-Nya, serta Allah akan berbicara dengan mereka dan mereka pun berbicara dengan-Nya. (Rujuk: Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin, Syarah Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabilir Rasyad, Edisi Terjemahan: Wahai Saudaraku, Inilah Aqidahmu..., m/s. 143, no. 39, Pustaka Ibnu Katsir (Bogor), Cet. 1. Th. 1427H/2007M. Dan Lum’atul I’tiqad, Maktabah asy-Syameela)


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22)إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ


Maksudnya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(Surah al-Qiyamah, 75: 22-23)


Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan hafizahullah menjelaskan:


Ada pun di akhirat, maka sesungguhnya Allah memberikan kepada penghuni Syurga kekuatan yang dengannya mereka boleh melihat Rabb mereka ‘Azza wa Jalla sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Kerana mereka telah beriman kepada-Nya di dunia dan tidak melihat-Nya, maka Allah memberi kemuliaan kepada mereka. Allah menampakkan diri kepada mereka di Syurga agar mereka dapat merasai kelazatan melihat Allah sebagaimana yang dijelaskan oelh al-Qur’an dan as-Sunnah yang mutawatir. (Rujuk: Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan, Syarah al-Manzhumatil ha’iyah fi ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Edisi Terjemahan: Inilah Ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, m/s. 91-92, Pustaka Salafiyah, Cet. 1. Th. 1428H/2007M)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ…


Maksudnya: ... Sesungguhnya kamu akan melihat Rabb kamu, sebagaimana kamu melihat bulan purnama ini, iaitu kamu tidak akan terhalang sedikit pun ketika melihat-Nya. (Hadis Riwayat al-Bukhari, Fadhail Solatil ‘Ashr, no. 521. Hadis daripada Jarir B. ‘Abdillah)


Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:


Dan para ulama Salaf telah sepakat bahawasanya orang-orang mukmin akan melihat Allah dan bukan orang-orang kafir.


Mereka akan melihat Allah Ta’ala ketika mereka berada di padang Mahsyar hari Kiamat, begitu pula setelah masuk Syurga bersesuaian dengan kehendak allah Ta’ala. Dan ini adalah melihat secara hakiki yang sesuai bagi Allah Ta’ala. (Rujuk: Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin, Syarah Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabilir Rasyad, Edisi Terjemahan: Wahai Saudaraku, Inilah Aqidahmu..., m/s. 146, no. 39, Pustaka Ibnu Katsir (Bogor), Cet. 1. Th. 1427H/2007M)


Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah berkenaan hadis ini:


وهذا تشبيه للرؤية بالرؤية، لا للمرئي بالمرئي، فإن الله تعالى لا شبيه له ولا نظير


Maksudnya: Dalam hadis ini terdapat penyerupaan cara melihat Allah pada hari Kiamat dengan cara melihat bulan purnama. Dan bukanlah penyerupaan apa yang dilihat di akhirat kelak dengan apa yang dilihat di dunia, kerana Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu dan tiada sesuatu menyerupai Allah. (Rujuk: Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin, Syarah Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabilir Rasyad, Edisi Terjemahan: Wahai Saudaraku, Inilah Aqidahmu..., m/s. 144, no. 39, Pustaka Ibnu Katsir (Bogor), Cet. 1. Th. 1427H/2007M. Dan Lum’atul I’tiqad, Maktabah asy-Syameela)


Orang-orang kafir terhalang dari melihat Allah di akhirat


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ


Maksudnya: Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. (Surah al-Muthaffifin, 83: 15)


Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan hafizahullah menjelaskan:


Ada pun orang-orang kafir, kerana mereka tidak beriman kepada-Nya di dunia, maka Allah menghalang mereka untuk melihat-Nya pada hari Kiamat. (Rujuk: Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan, Syarah al-Manzhumatil ha’iyah fi ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Edisi Terjemahan: Inilah Ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, m/s. 92, Pustaka Salafiyah, Cet. 1. Th. 1428H/2007M)


Pendapat Yang Tertolak Dalam Persoalan Melihat Allah


Ada pun Aliran Jahmiyah dan Muktazilah, mereka semuanya menafikan melihat Allah. Mereka berkata, Allah bukan jisim, maka Dia tidak dapat dilihat. Maka mereka menafikan kemungkinan melihat Allah selama-lamanya di dunia dan akhirat.


Dan ada juga kaum yang berkata: “Sesungguhnya Allah dapat dilihat di dunia dan di akhirat”. Ini adalah perkataan orang-orang sufi. Rujuk: Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan, Syarah al-Manzhumatil ha’iyah fi ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Edisi Terjemahan: Inilah Ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, m/s. 90, Pustaka Salafiyah, Cet. 1. Th. 1428H/2007M)


Isra’nya Nabi Dalam Keadaan Jaga (Bukan Mimpi)


Imam al-Barbahari rahimahullah berkata:


Bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah disra’kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu dimi’rajkan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya di dalam keadaan sedar sehingga ke langit yang ketujuh, ke Sidratul Muntaha. (Rujuk: Imam al-Barbahari, Syarhus Sunnah, no. 72, m/s. 59-60, Edisi Terjemahan: Dar El-Hujjah, Cet. 1, Th. 1423H/2002M, Jakarta)


قال البيهقي: أخبرنا أبو عبد الله الحافظ، أخبرني مكرم بن أحمد القاضي، حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي، حدثنا محمد بن كثير الصَّنْعاني، حدثنا معمر بن راشد، عن الزهري، عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها، قالت:

لما أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى، أصبح يحدث الناس بذلك، فارتد ناس ممن كانوا آمنوا به وصدقوه، وسعوا بذلك إلى أبي بكر، فقالوا: هل لك في صاحبك؟ يزعم أنه أسري به الليلة إلى بيت المقدس! فقال: أوقال ذلك؟ قالوا: نعم. قال: لئن كان قال ذلك لقد صدق. قالوا: تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس، وجاء قبل أن يصبح؟ قال: نعم، إني لأصدقه بما هو أبعد من ذلك، أصدقه بخبر السماء في غَدْوة أو رَوْحة. فلذلك سمي أبو بكر: الصديق، رضي الله عنه


Maksud: Berkata imam al-Baihaqi (meriwayatkan daripada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha):


Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diisra’kan menuju Masjidil Aqsha (lalu kembali ke Makkah), di pagi harinya beliau menceritakan kejadian itu kepada orang lain, maka murtadlah sebahagian orang yang sebelumnya beriman dan mempercayai beliau. Mereka menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya,


“Lihatlah sahabatmu itu, dia mengaku disra’kan tadi malam menuju Baitul Maqdis.”


Abu Bakar bertanya:


“Adakah benar beliau mengatakannya?”


Mereka menjawab, “Ya.”


Maka Abu Bakar berkata,


“Jika memang benar beliau mengatakannya, amka aku percaya.”


“Adakah kamu percaya bahawa dalam satu malam, ia dapat pergi ke Baitul Maqdis lalu sebelum tiba waktu subuh, ia telah kembali ke Makkah?” tanya mereka dengan penuh hairan.


Abu Bakar menjawab,


“Ya, malahan aku juga percaya yang (kamu anggap) adalah lebih mustahil dari itu, iaitu aku mempercayainya tentang berita langit yang datang di setiap pagi dan petang.”


Kerana itulah, Abu Bakar digelar dengan gelaran ash-Shiddiq. (Rujuk: Dalla’ilun Nubuwwah, 2/360. Hadis Riwayat al-Hakim, di dalam al-Mustadraknya, 3/62. Katanya, isnad hadis ini sahih. Juga di dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Musnad ‘Abdirrazaq, 5/328. Maktabah Syamilah, V2)


Sekiranya beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diisra’kan dalam keadaan mimpi atau ruh, sudah tentu orang ramai tidak berasa hairan dan terkejut.


Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:


والحق أنه صلى الله عليه وسلم أسري به يقظة لا منامًا من مكة إلى بيت المقدس، راكبًا البراق


Kenyataan yang haq (yang benar/tepat) adalah bahawa sesungguhnya beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) diisra’kan di waktu terjaga (bukan mimpi) dari Makkah menuju Baitul Maqdis dengan menaiki Buraq. (Rujuk: Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)


Juga penjelasan beliau yang seterusnya:


Kemudian beliau diisra’kan secara utuh dengan jasad dan ruh, dan ketika itu beliau sedang terjaga (bukan bermimpi). Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


Maksud: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surah al-Isra’, 17: 1) (Lihat: Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, jil. 5, m/s. 314, Pustaka Ibnu Katsir, Cet. 1, Shafar 1429H/Februari 2008M, Bogor)


فالتسبيح إنما يكون عند الأمور العظام، ولو كان منامًا لم يكن فيه كبير شيء ولم يكن مستعظمًا، ولما بادرت كفار قريش إلى تكذيبه، ولما ارتد جماعة ممن كان قد أسلم


Tasbih yang mengawali ayat ini menunjukkan bahawa apa yang terjadi adalah suatu perkara yang sangat besar. Sekiranya perkara tersebut terjadi hanya di dalam mimpi, sudah tentu perkara itu bukan sesuatu yang besar atau wajar dianggap besar. Orang-orang kafir Quraisy pun tidak akan mendustakannya, malah tidak akan terjadi fenomena murtad sebahagian orang-orang yang asalnya telah memeluk Islam.


وأيضًا فإن العبد عبارة عن مجموع الروح والجسد، وقد قال - أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا


Di samping itu, kalimah “عَبْدِ” (hamba) menunjukkan susuk tubuh manusia yang lengkap dengan ruh dan jasadnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:


الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا


Maksud: Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam... (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, V2)


Tarikh Isra’ Mi’raj


Melalui tinjauan sejarah waktu, tarikh terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Bukan sahaja tarikh/harinya, berkenaan bulannya juga masih diperselisihkan sehingga kini. Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah memaparkan perselisihan tersebut di dalam kitabnya, Fathul Bari, 7/203 sehingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat. Ada yang berpendapat bahawa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani... dan seterusnya. (Lihat: Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, Ensiklopedi Amalan Sunnah Di Bulan Hijriyah, m/s. 62, Pustaka Darul Ilmi, Cet. 1, Sya’ban 1429H/Ogos 2008M, Bogor)


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahawa Isra’ Mi’raj berlaku setahun sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berhijrah ke Kota Madinah, iaitu bulan Rabi’ul Awwal. Ada pun pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, iaitu bulan Dzulqa’edah. Al-Hafiz Abdul Ghani as-Surur al-Maqdisi membawakan dalam sirahnya hadis yang tidak sahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rejab. Dan sebahagian manusia menyangka bahawa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jumaat pertama bulan Rejab, iaitu malam Raghaib, iaitu yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah solat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya. (al-Bidayah wan Nihayah, 3/108-109, Cet. Maktabah al-Ma’arif. Lihat: Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, Ensiklopedi Amalan Sunnah Di Bulan Hijriyah, m/s. 62, Pustaka Darul Ilmi, Cet. 1, Sya’ban 1429H/Ogos 2008M, Bogor)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:


Tidak ada dalil yang sahih yang menetapkan bulan atau pun tarikhnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus) dan berbeza-beza. (Ibnul Qayyim, Za’adul Ma’ad, 1/57. Lihat: Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, Ensiklopedi Amalan Sunnah Di Bulan Hijriyah, m/s. 62, Pustaka Darul Ilmi, Cet. 1, Sya’ban 1429H/Ogos 2008M, Bogor)


Imam Abu Syamah rahimahullah menegaskan:


Sebahagian tukang cerita menyebutkan bahawa Isra’ Mi’raj berlaku pada bulan Rejab. Perkara tersebut menurut ahli hadis merupakan kedustaan yang amat nyata. (al-Ba’its ‘ala Inkar Bida’ wal Hawadits, m/s. 171. Lihat: Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, Ensiklopedi Amalan Sunnah Di Bulan Hijriyah, m/s. 63, Pustaka Darul Ilmi, Cet. 1, Sya’ban 1429H/Ogos 2008M, Bogor)


Kesimpulannya:


Tiada tarikh tertentu yang muktamad bila terjadinya Isra’ Mi’raj. Dengan itu, tarikh berlakunya Isra’ Mi’raj adalah tidak diketahui dan masih diperbahaskan.


Perayaan (Sambutan) Isra’ Mi’raj


Imam Muhyiddin an-Nahhas rahimahullah berkata:


Sesungguhnya perayaan malam ini (Isra’ Mi’raj) merupakan kebid’ahan besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara Syaitan. (Lihat: Imam Muhyiddin an-Nahhas, Tanbihul Ghafilin, Tahqiq/Ta’liq: Imaduddin Abbas, m/s. 613, Pustaka as-Sunnah, Cet. 1, Ogos 2007, Jakarta)


Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B. Bazz rahimahullah berkata:


Malam Isra’ Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Kerana seluruh riwayat berkenaan dengannya tidak ada yang sahih menurut para pakar ilmu hadis. Di sisi Allah-lah hikmah di sebalik semua ini. Jika memang diketahui waktunya, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Kerana ianya tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan, sudah tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskannya kepada umat, sama ada dengan perkataan mahu pun perbuatan...” (Ibnu Bazz, at-Tahzir minal Bida’, m/s. 9. Lihat: Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, Ensiklopedi Amalan Sunnah Di Bulan Hijriyah, m/s. 65, Pustaka Darul Ilmi, Cet. 1, Sya’ban 1429H/Ogos 2008M, Bogor)


قال الإمام أحمد: حدثنا عثمان بن محمد، حدثنا جرير، عن قابوس، عن أبيه قال: حدثنا ابن عباس قال

ليلة أسري بنبي الله صلى الله عليه وسلم دخل الجنة، فسمع في جانبها وَجْسًا فقال: "يا جبريل، ما هذا؟" قال: "هذا بلال المؤذن". فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم حين جاء إلى الناس: "قد أفلح بلال، قد رأيت له كذا وكذا"


Maksud: Imam Ahmad meriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Abbas (radhiyallahu ‘anhuma):

Beliau berkata: “Pada malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diisra’kan, beliau masuk ke dalam Syurga, lalu di salah satu sudutnya beliau mendengar suara lirih. Lalu, beliau bertanya,


“Wahai Jibril, suara apakah itu?”


Jibril menjawab,


“Itu adalah suara langkah kaki Bilal al-Mu’azin.”


Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda ketika Bilal datang di hadapan manusia, “Sungguh, Bilal adalah orang yang beruntung. Aku telah melihat bahawa baginya ini dan itu.” (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, no. 2210. Lihat juga: Tafsir Ibnu Katsir. Maktabah Syamilah, V2)
Written by Nawawi Bin Subandi   

Thursday, 2 June 2011

Hibah, Faraid

Today an old man came with another guy couple with 2 women I guess one of them is his wife and the other one is his sister in law. The old man brings an issue that he did not satisfy with the land distribution made by land office. According to the fact given that the owner who is his uncle has made a gift to his two adopted daughter. He said ‘this not accordance with an Islamic teaching, the land should be distribute according to faraid’. But the thing is, a gift or ‘hibah’ to be more precise has been made to his adopted daughters. So what is hibbah? 

Hibah is one of means to distribute one's assets in Islamic financial planning. It may be used either in one's lifetime or in estate distribution of the deceased. It is very simple, yet influential tool in estate planning in the sense it may influence the portion of some heirs if one executes the hibah when one is about to die. Hibah basically means gift as when prophet Zakariya prayed to his Lord in order to be granted descendants, saying "O my Lord! Grant unto me from thee a progeny that is pure" (Qur'an 3:38).

Hibah is an Arabic term, derived from the word 'habubah', which literally means 'passing' or 'blowing'. In the religious term it means giving one's wealth to others without the expectation of any replacement or exchange with the transferring effect on the ownership. Thus once a hibah is executed, the giver cannot take it back. Like waqf or other charity, hibah is the transfer of property from the giver to the recipient during his lifetime. However hibah in general sense may include Ibra', sadaqa and hadiyah which respectively means release from; releasing one's wealth from his ownership, alms giving; giving part of his wealth to needy, and reward which needs an exchange.
In Islam, the habit of giving and charity has been recommended as Bukhari reported that the prophet peace be upon him says, "Give each other and love each other". Thus it is clear that hibah first of all, is recommended to be given to those whom we love and those who are nearer to us. In this regard, God has arranged the most appropriate recipients of hibah as He says "and do good to parent, kinfolk, orphan, those in need, neighbors who are near, neighbor who are strangers, the companion by your side, the wayfarer (ye meet), and what your right hand possess: For God loveth not the arrogant, the vainglorious" (Qur'an 4:36).

Hibah is basically recommended among the family first then nearest among the neighbors and so forth. This is evident when Aishah, the wife of the prophet, wished to give one of her two neighbors a gift and asked his advice, he replied, "Give to the one whose door is nearer to you". However it does not means one cannot give a gift to those who are not near and not close to him. One of the reasons to do so is that it will help enhancing the love and special relationship among the members of the family and neighbors, who are in the surroundings.
On the other hands, the prophet peace be upon him reprimanded those who looked down on gift. As Abu Hurayrah narrated that the prophet once said "none of you should look down upon the gift sent by your neighbor even if it were the trotters of the goat". In this regard, the prophet did not reject any gift except when the law did not permit it as Ahmad, Abu Daud and tirmidzi narrated that prophet once said when a polytheist gave the prophet and he asked him "were you a Muslim? He said no, and the prophet said "I am prohibited to receive a gift from polytheists".

Hibah is the third dimension in estate planning structure; complementing faraid and wasiyyat (will). Hibah may come into discussion when the rule of faraid does not allow some heirs to get the right of inheritance and wasiyyat was not made on him when one is facing the death. It is known that the rules of faraid only apply to Muslims; in the case of different religions between the heirs and the deceased, the heirs will not get anything from the inheritance. Thus hibah may solve the particular circumstances by giving certain portion of his wealth to the heirs who have different religion and particular blocked heirs (heirs who are not entitled to get inheritance, being blocked by other heirs) before he passed away.

Furthermore, in the case of father who wants to give his son more than what he supposes to get in estate planning, the only choice he has is to execute hibah. If he chooses to do it under wasiyyat (will writing), the son is only entitled to one third of the estate. So if the father feels that the son is entitled to get more than a third and wants to ensure that he receive it, the only way is hibah in his lifetime. If this hibah is executed in time where he is about to die, it may be in the form of will writing (wasiyyat). Thus it recommended appointing a professional trustee to execute the hibah. Even though the hibah belongs to the recipient technically, it is trustee who will manage, maintain or dispose of it. One can put condition on the trustee that the hibah is given to the recipient only upon the death of the giver. By doing this, one not only expedites the process of distribution, as the hibah will not be subjected to the laws of faraid, the estate is protected as well. Therefore it will allow the son to legally own the property. As a result, wasiyyat and hibah are devices that we can use to provide for the distribution of our estate upon our death.
But what is faraid?

Literally Faraid have many means. To Decide, To Halal, To Ensure and Obligate is some of them. In syara', Faraid refer to division of properties when a muslim passed away without leaving any will before his death. the properties will then be devided within heirs, following Islamic rules. Properties have to be clean from debts, funeral observances, zakat and will that allow by syara'. Properties that can be Faraid including land.

Before splitting the properties, have to ensure whose within heir can acquire the properties by Ashabul-Furud, whose Mahjud, before splitting the balance to those qualified to receive Asabah.
1. Ashabul-Furud
This group take fixed portion by syara' of 1/2, 1/3, 1/4, 2/3, 1/6 or 1/8. They are husband or wife, mother or mother of mother, father or father of father, daughter or daughter of son, full sister, consaguine sister and uterine brother or sister.
2. Asabah
This group receive balance when all Ashabul-Furud got their portion. There are 3 types of asabah:
(a)
  Asabah Binafsih
(b)
  Asabah Bil Ghoir
(c)
  Asabah Maal Ghoir.

Division of propeties by finishing all the properties, or taking up all balance by male heir, with or without cause of present of other heir. They are 12 male heir in this group, father, father of father, son of son, full brother, consaguine brother, son of full brother, son of consguine brother, full brother of fahter, consaguine brother of father, son of full brother of father and son of consaguine brother of father. 

 (b)  Asabah Bil Ghoir
Division of porperties by finishing all the properties, or taking up all balance by female heir because of present of other male heir. There are 4 heir in this group, daughter or son, daughter of son or son of son, full sister or brother, consaguine sister or brother. 

(c)  Asabah Maal Ghoir
Division of properties by finishing all the properties, or having all the balance by female heir because of present of other female heir. There are 2 female heir in this group, full sister and consaguine sister (sharing with daughter or daughter of son). 

3. Dhawil-Arham
This group replace grop (1) and (2) when there is no husband of wife to hinder this group from taking portion of properties. In most condition this group is blocked by receiving any portion because there is other heir that closely family relation to the deceased. This situation called hijjab or wall. There is 4 Dhawil-Arham, grandfather and grandmother, grandchild or greate grandchild, child of sister and sister or brother of mother. There is 2 type of hijjab:

 (a) Hijab Nuqshon
Blocked by taking out heir portion from receiving Ashabul-Furud - larger portion become smaller because of exist other heir with them. Example, husband received 1/4 from 1/2 because having child or grand child. 

(b) Hijab Hirman
Blocked by not having portion of all because exist close family related heir of the deceased which more entitled to receive portion. Example, consaguine brother is blocked because there is full brother and father of fahter being denied by father.
 
Finally, the old man understands and accepts the fact that a gift was made to the land to the adopted daughters of the deceased.